
Banda Neira, 18 Juni 2025 — Laut Banda yang kaya akan keanekaragaman hayati dan potensi ekonomi kini menghadapi berbagai ancaman serius. Mulai dari pencemaran sampah plastik hingga penangkapan ikan berlebihan (overfishing), semua menjadi sorotan dalam lokakarya Penjangkauan Masyarakat dalam Rangka Penguatan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Banda dan Sekitarnya, yang diselenggarakan oleh Satker TWP Laut Banda di Kantor Camat Banda.
Dalam sesi materi bertajuk “Laut Kita, Tanggung Jawab Kita”, Abdul Rahim Lestaluhu, Dosen Universitas Banda Neira, menyampaikan berbagai tantangan utama dalam pengelolaan ekosistem laut Banda. Isu pertama yang disorotinya adalah sampah laut, terutama plastik. Ia mencontohkan kondisi di Desa Nusantara, yang disebutnya memiliki kontribusi tinggi terhadap produksi sampah. “Kesadaran warga masih rendah, fasilitas pengelolaan limbah sangat terbatas. Anggaran pun hanya bersumber dari dana desa, belum ada sistem iuran sampah,” jelasnya.
Lestaluhu juga mengungkapkan bahwa nilai ekonomi karang dilaut laut Banda diperkirakan mencapai Rp5,2 miliar, hanya dari satu sisi saja, belum dinilai dari sisi pariwisata, manfaat lingkungan dan yang lainnya. Kawasan ini tercatat memiliki 397 spesies karang, dan Pulau Hatta dikenal sebagai wilayah dengan jumlah dan keanekaragaman ikan karang tertinggi. Sayangnya, keterbatasan transportasi dan minimnya fasilitas pembekuan hasil tangkapan masih menjadi hambatan utama. “Nelayan kesulitan meningkatkan nilai jual karena tidak ada fasilitas pendukung yang memadai,” tambahnya.
Ancaman lainnya datang dari penangkapan ikan yang berlebihan, penggunaan alat tangkap yang merusak, hingga alih fungsi kawasan pesisir, seperti penambangan pasir dan reklamasi tanpa kajian lingkungan. Ia menegaskan bahwa pembangunan karakter masyarakat yang peduli lingkungan serta penguatan regulasi di tingkat desa menjadi kunci keberhasilan pengelolaan laut berkelanjutan.
Menanggapi isu tersebut, Ali Tamher, Koordinator Wilayah Kerja Pengawasan Sumber Daya Perikanan Banda, turut menyampaikan pentingnya penertiban penempatan rumpon (alat penangkap ikan) di kawasan konservasi laut. Menurutnya, jika tidak diawasi, rumpon yang dipasang secara sembarangan justru akan merusak wilayah yang seharusnya dilindungi.
Setelah sesi pemaparan, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab yang aktif dan terbuka. Peserta menyampaikan berbagai keluhan dan pertanyaan penting, seperti efektivitas regulasi kawasan konservasi, prosedur perizinan pembangunan, hingga jaminan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat pesisir dan desa. Beberapa peserta juga mengeluhkan ketiadaan fasilitas pengolahan sampah yang layak sebagai akar persoalan pencemaran. Diskusi ini mencerminkan tingginya kesadaran masyarakat Banda terhadap pentingnya menjaga laut sebagai sumber kehidupan bersama.
Sebagai penutup, seluruh narasumber dan peserta sepakat bahwa konservasi laut Banda adalah tanggung jawab bersama—baik pemerintah, pelaku usaha, akademisi, maupun masyarakat. Sinergi dan regulasi yang berpihak pada lingkungan serta warga lokal menjadi kunci menjaga kelestarian laut Banda demi generasi mendatang.